Minggu, 16 September 2018

bila hari ini belum

👩🏻‍⚕ *BILA HARI INI*🕌
1 . Bila Hari Ini Belum dapat Memberi Kebahagiaan pada Sesama, usahakan Hari Ini Tidak Menyakiti Orang lain.

2 . Bila Hari Ini Belum dapat Melakukan Amal Sholeh, usahakan Hari Ini Tidak Melakukan Dosa.
3 . Bila Hari Ini Belum dapat Berakhlak Mulia, usahakan Hari Ini Tidak Menyimpan Hati Buruk pada Sesama.
4 . Bila Hari Ini Belum dapat Menghargai Orang lain, usahakan Hari Ini Tidak Memberi nilai Berlebih pada Diri Sendiri.
5 . Bila Hari Ini Belum dapat Memberi Manfaat, usahakan Hari Ini Tidak Memberi Mudharat bagi Sesama.
6 . Bila Hari Ini Belum dapat Menciptakan Suasana yang Menyenangkan bagi Orang lain, usahakan Hari Ini Tidak Melakukan Kemarahan dan Kebencian pada Sesama.
7 . Bila Hari Ini Belum dapat Mengingat Kebaikan Orang, usahakan Hari Ini dapat Melupakan Keburukan Orang lain.
8 . Bila Hari Ini Belum dapat Beramal dengan Ikhlas, usahakan Hari Ini dapat Membebaskan Diri dari Pujian Org lain.
*_Makna dari Kehidupan Bukan Terletak pada seberapa Bernilainya Diri Kita, Tetapi seberapa Besar Bermanfaatnya Kita bagi Orang lain._*
*_Jika Keberadaan Kita dapat Menjadi Berkah bagi Banyak Orang, barulah Kita Benar- Benar Bernilai._*

aura baik

Renungan  Pagi  ini...
         *BELAJAR MENGENAL AURA ORANG BAIK BAIK*
        Banyak dari kita sedikit sekali memahami aura orang yg baik..
           *Alamatnya adalah*
      1. Orang Baik cenderung *LEBIH BANYAK TERSENYUM.*_ _Percaya atau tidak, kebaikan seseorang bisa ditunjukkan dari cara dia tersenyum._ _Mengapa? Karena semakin banyak orang tersenyum, maka *Hawa Positif akan bertebaran disekitarnya*_ _Selain itu, dengan tersenyum, orang akan terkesan *lebih ramah dan bisa dipercaya*_
_2. Pikiran-pikiran negatif seperti iri hati & dengki jarang menghinggapi orang baik._
_Orang Baik akan selalu_ *_MENANAMKAN PIKIRAN POSITIF_* _dalam hidupnya._ _Bahkan saat dia mengalami masa-masa sulit sekalipun sehingga akan menyebarkan suasana nyaman._
_3. Orang Baik biasanya lebih sering_ *_MENYAPA DULUAN._* _Orang baik tidak akan keberatan untuk menyapa semua orang, bahkan terhadap orang yg berbuat jahat padanya sekalipun._
_Orang baik selalu terhindar dari rasa *menjadi orang penting*, ingin dicari dan dibutuhkan_.
_Dia biasanya tidak membutuhkan pengakuan orang atas kinerjanya selama ini._
_4. Orang Baik *TIDAK INGIN MENUNJUKKAN BAHWA DIA BAIK.*_ _Tapi orang jahat akan selalu membangun citra baik untuk (kekurangan) dirinya._
_5. Orang Baik selalu *PINTAR MENGENDALIKAN EMOSI.* Mereka terlihat sangat sabar dan toleran._
_Tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri._
_6. Orang Baik akan bercerita atau *MEMBAGIKAN HAL-HAL YG BERMANFAAT* dengan tujuan memberi tahu._
_Bukan untuk menggiring opini publik bahwa hanya dirinyalah yg benar._
_7. Orang Baik selalu menghafal 3 kata sakti. Yaitu *MAAF, TOLONG, & TERIMA KASIH.*_
_8. Orang Baik tidak akan keberatan untuk mengakui kelebihan orang lain._
_Apalagi jika dia merasa bersalah. Mereka tidak akan segan-segan untuk *MEMINTA MAAF & MEMPERBAIKI KESALAHAN.*_ _Berbeda dengan orang jahat yg memiliki gengsi tinggi & menganggap dirinya selalu benar._ _Jangankan mengaku salah, menganggap orang lain berprestasi saja gengsi, Ada saja alasan untuk mencari kesalahan serta untuk menjatuhkan orang lain._
_Semoga kita bisa melatih diri menjadi orang sabar dalam menghadapi setiap kejahatan & perilaku orang jahat._ _*"MEMANG BAIK MENJADI ORANG PENTING, TETAPI JAUH LEBIH PENTING MENJADI ORANG YG BAIK"* Semoga Bermanfaat._
_Yuuuk ... Kita sama-sama berusaha dan belajar menjadi jauh lebih baik lagi.
*Semoga Bermanfaat wal Barakah *

Minggu, 02 September 2018

orang kaya ngaku miskin

"Orang-orang Kaya yang Mengaku Hidupnya Makin Sulit"!
oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar Ekonomi-Bisnis UI)
Jumat, 31 Agustus 2018 | 05:30 WIB
Sambil senyum-senyum saya membaca keluh kesah kawan-kawan saya. Meski hidupnya enak, rumah besar, ada mobil, pesta pernikahan anaknya wah, bahkan ada yang memelihara hewan-hewan mahal, tetapi tak semua merasa makin kaya. Perhatian saya justru pada teman-teman yang "merasa makin miskin."
Well, tak ada yang mengatakan kini kehidupan jauh lebih enak. Namun ada konsekwensi dari keinginan kita yang menuntut perubahan, apalagi ini era disrupsi.
Di sisi lain, saat tatanan ekonomi dunia chaos, selalu ada energi besar yang memicu kreativitas, bahkan mencuri kemenangan. Persis seperti tim Indonesia dalam Asian Games 2018 ini. Sometimes you win and sometimes you learn.
Kembali ke kawan-kawan tadi. Dalam WA grup. Sama seperti Anda, kami juga membahas segala "kesulitan." Tapi belakangan saya sering bertanya, orang kaya, kok merasa hidupnya susah?
Suka Mengatasnamakan Rakyat
Akhirnya saya mulai sungguhan melakukan riset. Persis seperti waktu kuliah S3. Saya kelompokkan mereka berdasarkan tempat tinggal dan simbol-simbol kekayaan yang mereka pamerkan.
Saya juga menelisik apakah mereka punya "calling" sosial atau tidak, semisal kontribusi dalam pendidikan, kesehatan, atau pembinaan anak-anak muda yang motifnya bukan kekuasaan atau kelompok identitas, melainkan yang altruistik, dengan ketulusan.
Saya lakukan analytics kata-kata kunci yang sering sekali mereka ucapkan. Memakai semacam big data.
Ternyata kata-kata negatif, benci pada keadaan, justru banyak dikeluarkan oleh mereka yang hidupnya, maaf, kering-kerontang atau yang terbiasa mengedepankan identitas kelompok. Padahal, sekali lagi, mereka tidak miskin.
Sayangnya mereka juga mudah dihasut kebencian, padahal Tuhan sudah pernah memberi kesempatan sebagian mereka untuk berkuasa menjadi pejabat atau pemimpin.
Dan yang lebih menarik lagi, mereka yang merasa hidupnya tambah susah itu, selalu terkait dengan kata "rakyat."
Maksud saya, mereka sering sekali mengatasnamakan rakyat. "Rakyat hidup semakin sulit," "harga-harga yang harus dibayar rakyat terus melambung," "daya beli turun." Dan akhirnya "Rakyat di desa hidup merana, pekerjaan sulit."
Mereka membuat rakyat merasa lebih susah, padahal rakyat yang dimqksid itu harus diajarkan keluar dari perangkap kepindahan (the great shifting), supaya usahanya kembali pulih dan ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi.
Setiap kali melihat "rakyat susah" mereka ikut susah, tetapi hatinya tak tergerak sama sekali untuk mengulurkan bantuan, selain kata-kata.
Sementara teman-teman saya yang justru berjiwa sosial, tidak sekalipun mengatasnamakan rakyat.
Hartanya Naik
Pergunjingan pun beralih ke soal harta. Sebab sewaktu nilai rupiah terdesak, kawan-kawan saya yang merasa susah itu menawarkan asetnya untuk dijual. Ya rumah, apartemen, tanah, bahkan barang-barang tertentu.
Sama seperti Anda, saya berpikir mereka sedang butuh uang (BU), "pasti harganya turun." Ternyata mereka berkata lain. "Tidak dong. Dollar naik, harga tanah dan bangunan juga naik dong." Ternyata mereka tidak sedang BU, tetapi mencari keuntungan juga.
Saya semakin terkesima saat membaca twitter yang dikirim seorang anak muda tentang besarnya kekayaan calon-calon presiden dan wakil presiden. Ternyata sama saja. Besar harta mereka setahun terakhir ini naik fantastis. Tetapi dalam pernyataannya, mereka selalu mengatasnamakan rakyat dan merada hidup di sini semakin susah.
"Rada ngga nyambung," sergah anak muda yang menulis itu di Twiter.
The Empty Raincoat
Hampir 20 tahun lalu, saat dunia mulai mengenal internet, Prof Charles Handy mengajak kita "making sense of the future." Ya, mengendus masa depan. Ia menyebut fenomena ini sebagai the empty raincoat. Sebuah perasaan yang berbeda dengan realitas yang ada.
Wajar bahwa orang-orang bingung, selalu membuat kebingungan. Kalau mereka tak kontrol mulutnya dan kebijaksanaan tak datang menemui hari tuanya, maka kesusahan akan menjadi sahabat teman-teman dan bangsanya. Sesungguhnya, orang yang banyak mengeluh adalah orang yang dikeluhkan teman-temannya.
Ini disindir Handy dalam Paradox of Riches. Tentu orang yang semakin kaya (secara ekonomi) merasa lebih punya kontrol dan maunya lebih dan lebih banyak lagi. Tetapi celakanya, ada semakin banyak harta yang tak bisa dimiliki orang berada pada harga berapapun.
Ekonom menyebut hal itu sebagai public goods, dan untuk menikmatinya kita harus berbagi tempat (sharing space) dengan orang lain. Anda bisa membeli mobil, tapi jalanannya harus berbagi dengan orang lain.
Ketika perekonomian membaik dan daya beli naik, semua orang bisa memilikinya. Kini Anda harus berbagi kemacetan, bahkan ada kalanya tak bisa dipakai karena aturan ganjil genap. Anda tak bisa membeli kelancaran lalulintas berapa pun besarnya uang anda selain berbagi hari dan mau diatur.
Udara dan air bersih, lingkungan yang aman, politik yang menentramkan, masyarakat yang tidak pemarah dan seterusnya juga sama saja.
Paradox of Poverty
Kini teknologi semakin memudahkan. Bekerja dari rumah misalnya. Dulu keduanya dibentangkan oleh jarak dan waktu. Jadi banyak yang bisa diselesaikan dengan waktu yang lebih sedikit (working less time). Tetapi kini ada tuntutan untuk bekerja serba cepat. Bekerja dari rumah berarti tak punya waktu juga karena begitu banyak yang harus dan bisa dikerjakan. Pusing, bukan?
Tetapi masih ada yang lebih paradox. Ini soal bagaiman kaum superkaya memaknai arti kemiskinan? Maksud saya, kalau tak pernah hidup melarat lalu ujug-ujug bisa menjadi presiden atau wakilnya, benarkah mampu membuat program yang meaningful untuk memberantas kemiskinan?
Saya beri contoh saja Donald Trump yang superkaya itu. Sama seperti politisi-politisi kaya Indonesia yang menjual kemelaratan (poverty) dan "penderitaan rakyat" sewaktu kampanye, Trump membekukan Obama Care yang pro poor. Tetapi di lain pihak, Trump justru mengusir para imigran miskin dan menurunkan pajak perusahaan-perusahaan besar dari 35 persen menjadi 21 persen.
Saya semakin tertegun ketika membaca buku Homo Deus yang ditulis profesor Yuval Noah Harari : A Brief History of Tomorrow. Ia mengingatkan:
"Saat negara-negara terfokus mengentaskan kemiskinan, kita menemukan pembunuh terbesar umat manusia. Bukan lagi kurang gizi, penyakit menular atau terorisme, melainkan gula."
Ada paradoks antara eating too little (yang mengakibatkan kurang gizi) vs eating too much (yang mengakibatkan diabetes dan obesitas).
Science telah turut mengatasi banyak masalah kaum papa. Di Indonesia, dengan program dana desa yang generous kita menyaksikan telah ada lebih dari 100.000 KM jalan desa. Penyakit-penyakit menular pun cepat diberantas.
Tetapi, tiga pembunuh terbesar manusia Indonesia menurut survei yang dilakukan oleh Balitbangkes (Sample Registration Survey) adalah diabetes, stroke, dan penyakit jantung. Ketiganya, konon banyak diderita kelompok kaya. Bukan kaum miskin.
Di sisi lain, ditemukan realitas bahwa komplain besar terhadap layanan BPJS Kesehatan, ternyata bukan dari kaum miskin, melainkan kelas menengah yang malas bayar iuran. Mereka lebih mengedepankan hak ketimbang kewajibannya. Bisa dibayangkan, masa depan layanan yang generous ini kalau kelak negara dipimpin orang kaya seperti Trump
Begitulah kita menyaksikan sebagian orang-orang kaya yang merasa hidupnya semakin sulit. Mereka komplain apa saja, mulai dari ganjil-genap, jalan yang jauh di bandara, parkir yang padat, demo yang dilarang, sampai tadi itu: kok hidup jadi lebih susah?