Senin, 28 Agustus 2017

Komplit nya Hukum di indonesia



​<b>Bisa jadi, KITA cuma selangkah di depan PENJARA. Tapi jika kita sekarang masih bisa menghirup udara bebas, mungkin karna kita "masih beruntung" saja.​</b>

​<b>Kenapa?​</b> Karena tanpa disadari, banyak sekali tindak tanduk keseharian kita yang jika ditelusuri berdasarkan aturan, aktifitas itu dianggap sebagai pelanggaran yang bisa membawa kita masuk penjara.

Karna itu, jika &quot;sedang apes" ketemu aparat hukum yang punya kepentingan atau iseng, mereka bisa saja mencari celah aturan, untuk disangkakan sebagai pelanggaran, dan kita pun resmi jadi pesakitan.

Setidaknya kasus Tora Sudiro yang saat ini tersangkut kasus hukum, bisa dijadikan referensi.

Sebelum Tora Sudiro digelandang Polisi, siapa diantara kita yang paham kalo mengkonsumsi Dumolid, obat yang mengandung Nitrazepam itu dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-undang Narkotika?

Yang mengkonsumsinya, bahkan disetarakan dengan penghisap ganja, sabu sabu atau heroin?

Bagi kita yang awam, Dumolid itu tak lebih dari obat anti depresi. Tapi siapa nyana, ternyata di Undang-undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, obat ini dibatasi peredarannya dan untuk mengkonsumsinya harus melalui resep dokter.

Bagi yang melanggarnya: hukuman penjara siap menanti. Apeslah Tora Sudiro, yang ternyata mengkonsumsi rutin obat itu, tanpa dibarengi dengan resep dokter.

Beberapa waktu lalu, publik juga pernah ramai dengan kasus yang menjerat 2 pemuda yang ditangkap polisi. Pasal pelanggaran yang dituduhkan, karena pemuda itu menjual Ipad ke konsumen via online tanpa disertai "manual book" berbahasa Indonesia.

Aparat hukum menggunakan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen untuk menjerat pemuda itu dengan hukuman kurungan lima bulan penjara.

Masalahnya; siapa diantara kita yang pernah membaca peraturan tersebut, dan mengerti jika untuk produk-produk tertentu yang dijual ke konsumen, penjual kudu menyertai "manual book" berbahasa Indonesia? Seorang sarjana hukum sekalipun belum tentu mengerti!

Memang, ada begitu banyak aturan yang telah disahkan Pemerintah, yang mengatur aneka hajat hidup masyarakat banyak. Tujuan aturan itu dibuat memang mulia; untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan teratur. Karena itulah, nyaris di setiap aturan juga diselipkan ketentuan-ketentuan sanksi bagi bagi yang melanggarnya—bisa denda administrasi dan uang maupun kurungan penjara.

Nah, saking banyaknya aturan tersebut, ditambah tak banyak orang Indonesia yang "melek" aturan, ada banyak keseharian kita yang mungkin telah kita anggap lazim dan biasa, ternyata oleh aturan dianggap pelanggaran yang bisa berujung penjara.

Maka tak berlebihan jika seorang pengacara pernah berujar, "Kalau aparat hukum iseng dan sengaja mencari perkara, hampir semua penduduk Indonesia bakal masuk penjara atau kena denda, karena pelanggaran-pelanggaran yang tak mereka ketahui"!

Coba saya sajikan beberapa contoh…

Siapa yang tidak pernah membuang baterai bekas atau obat kadarluasa ke tempat pembuangan sampah biasa? Jika Anda pernah lakukan itu, berarti anda seharusnya terancam penjara 6 tahun, karena telah membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) ke tempat yang tak semestinya. Harap anda ketahui, baterai bekas dan obat kadaluarsa, dalam peraturan Pemerintah dikategorikan sebagai limbah B3, yang tak boleh dibuang sembarangan.

Jika Anda sering berjalan di sepanjang rel kereta api, dan saat itu ada aparat hukum yang iseng atau dendam kepada anda, bisa jadi anda langsung bisa digelandang masuk bui karena dianggap melakukan pelanggaran atas pasal 181 ayat (1) UU Perkeretaapian. Hukumannya sih tak berat; cuma kurungan penjara selama 3 bulan atau denda paling banyak lima belas juta rupiah. Untuk kasus ini, saya kerap jadi pelakunya karena menggunakan "ruang manfaat jalan kereta api" untuk jalur lelarian.

Bagi bapak-bapak yang hobi mengutak-atik dan memasang instalasi listrik di rumah, anda pun sebenaranya calon penghuni penjara. Ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, ternyata mengatur setiap pengoperasian dan pemasangan instalasi listrik tanpa dilengkapi Sertifikat Laik Operasi (SLO), bakal diganjar kurungan paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Padahal, tak sedikit dari kita yang dengan modal tang dan plesteran, telah memasang dan menginstalasi sendiri jaringan listrik di rumah kita tanpa SLO. Termasuk anda, bukan?

Sementara aturan ini jika diterapkan bakal menjerat adik dan ibu saya di kampung, dan juga pedagang hampir seantero Indonesia. Demi mencari sesuap nasi, adik dan ibu saya membuka toko yang menjual aneka produk aksesoris, mainan dan pernak-perniknya.

Masalahnya, sebagian besar produk yang dijual di toko itu adalah barang tiruan alias imitasi, yang menduplikasi merek produk tertentu yang kesohor, tapi dengan harga yang jauh lebih murah. Bahasa gaulnya: barang KW!
Nah, rupanya berdasarkan pasal 102 UU No 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, memperdagangkan produk merek tiruan itu, ternyata bisa menyeret pelakunya ke penjara dengan kurungan selama satu tahun atau denda Rp200.000.000.

Saya juga baru paham, dalam soal menyembelih hewan ternak sekalipun, kita pun bisa-bisa terkena pasal pelanggaran yang berujung penjara. Tak serta merta, kendati hewan ternak itu milik kita, lalu kita bisa seenaknya saja menyembelihnya.

Sebab rupanya, jika hewan itu betina yang masih produktif, UU No 18 tahun 2009 tak membolehkan kita untuk menyembelihnya. Jika tetap bandel dan melanggar, ada ancaman hukuman penjara "cuma" tiga bulan atau denda lima juta bagi pelakunya. Lumayan kan?

Nah, lalu gimana cara untuk menghindari itu? Tak ada! Selain berharap, semoga kita tak bertemu dengan aparat hukum yang sengaja mengisengi kita. Jika tidak. Apeslah kita…

​<i>Sebagai catatan tambahan:​</i>

Sekarang ini sedang berlangsung Sensus Ekonomi 2016 Lanjutan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Nah, mengutip pasal 39 Undang-undang no 16 tahun 1997 ttg Statistik, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah mencegah,menghalang-halangi, atau menggagalkan jalannya penyelenggaraanstatistik yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan statistik dasardan atau statistik sektoral, dipidana dengan pidana penjara palinglama 5 (lima) tahun denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

Wah... kudu hati2 nih...
Wah... kudu hati2 nih... 😊

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Indosat network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar