Rabu, 21 Maret 2018

introvert

Ooo begono
Setiap orang ada keunikan
Klo aku extrovert
Ada yg model interovert ky gini juga
Ketika Anakmu Seorang Introvert
—Urfa Qurrota Ainy
Saya begitu senang saat anak perempuan saya yang berusia 18 bulan berlari dengan riang di tempat-tempat publik: stasiun, masjid, mall, tempat parkir, juga taman-taman. Tanpa meminta didampingi, ia bereksplorasi sesuai kehendaknya.
Melihat berbagai hal sambil berkali-kali berteriak girang, tertawa, atau bertanya "Apa? Apa?" Mengapa saya senang? Karena ia tak mungkin akan begitu merasa secure seperti itu jika tak punya kelekatan dengan saya. Ia berani berjalan sendiri, artinya ia tahu bahwa ia aman. Saya berharap itu menjadi kesempatan baginya belajar mandiri.
Namun ceritanya tidak seindah kelihatannya. Dalam beberapa langkah kemudian, biasanya ada satu dua orang dewasa atau kanak-kanak yang menyapa anak saya. Ceritanya pun langsung berubah. Mukanya mendadak cemas dan secepat mungkin ia berjalan mencari saya (atau Ayahnya) lalu berpegangan erat pada badan saya (atau Ayahnya). 
Jika beruntung, orang-orang di sekitar hanya akan berusaha menenangkan anak saya atau memilih cuek saja. Namun, kadangkala, ada juga yang menyatakan penilaiannya, "Anak Mbak pendiam ya?" "Ih, malu-malu ya.." Mudah-mudahan tidak ada yang menilai lebih jauh daripada itu.
Apa jawaban yang ingin saya utarakan? Sesungguhnya saya ingin sekali menjawab, "Bukan Bu. Anak saya bukan pendiam. Anak saya bukan pemalu. Itu hanya karena… dia anak dengan tipe kepribadian introvert. Dia butuh waktu untuk mengamati lingkungan terutama orang-orang baru sebelum ia bereksplorasi. Dia begitu cerewet saat berada di antara orang dan lingkungan yang ia nyaman di dalamnya. Selebihnya, dia sama seperti anak-anak lainnya."
Tapi, pada kenyataannya, saya hanya bisa tersenyum dan sedikit membela, "Ngga kok. Mungkin karena belum kenal aja." Ini juga karena saya introvert. Menulis selalu lebih baik daripada berbicara untuk menyampaikan maksud dan pikiran, bagi seorang introvert.
Menjadi introvert di dunia yang bising, bukan hal mudah. Lingkungan membantu menciptakan kondisi di mana seorang introvert dinilai tidak bahagia, pendiam, dan pemalu. Standar-standar tertentu, misalnya standar di sekolah, seperti hanya mengakomodasi orang-orang ekstrovert. Presentasi di depan kelas, tugas-tugas kelompok, adalah hal yang kerap membuat introvert kurang nyaman. Jika dibolehkan memilih, mungkin introvert akan lebih memilih membaca buku di perpustakaan daripada menghabiskan waktu dalam obrolan basa-basi di kelas saat menunggu guru datang atau menghadiri acara pembukaan kompetisi olahraga di kampus.
Ketika ada organisasi yang menunjuk saya sebagai ketua, ketua bidang, atau jabatan lainnya, saya terbelah dua. Satu bagian mengatakan saya harus bisa beradaptasi dengan kultur ekstrovert, bagian lain mengatakan saya akan kelelahan jika menjalaninya. Selalu demikian.
Tapi saya sudah melalui hal-hal menantang itu. Meski kerap dengan merasa asing, kagok, dan gagal menciptakan suasana riang (berbasa-basi pun sering tidak laku).
Dan sekarang saya takut anak saya akan mengalami hal-hal yang sama. Dianggap tidak berani, dianggap pemalu, dipaksa untuk bicara secara tiba-tiba, yang akhirnya hanya menghasilkan kalimat-kalimat tak terstruktur, dianggap tidak suka gaul karena tidak pernah ikut nongkrong atau hangout di kafe, dianggap tidak bisa 'menjual' dirinya karena tidak suka dengan publisitas dan self-promoting.
Dan yang lebih buruk dari itu, bakat-bakat besarnya seperti bakat seni, menulis, meneliti, mengobservasi, dan bakat menjadi pemimpin kharismatik, bisa terpendam terus karena yang mereka inginkan adalah anak saya pandai berbicara. Sorry to say, tapi bagi saya, itu sama seperti mengharuskan singa berkicau, karena berkicau itu dianggap kemampuan yang bagus.
Yang membingungkan, bagaimana ya supaya orang mengerti bahwa dunia ini bukan hanya milik para ekstrovert? Dunia maya yang menjadi tempat nyaman bagi introvert sekali pun malah didominasi oleh ekstrovert.
Ah, lelah jika harus memahamkan perbedaan kepribadian ini kepada orang-orang. Mungkin saya yang harus memahamkan pada anak saya saat dia bertanya, "Apa yang salah pada diriku, Bu?" bahwa dia tidak salah, dia normal, "It's just because. Kamu seorang introvert, Nak. Sama seperti Ibumu."
Introvert senang bermain dengan imajinasiya. Introvert si pengamat. Introvert si deep thinker. Introvert si pembaca. Introvert si penulis. Introvert si penemu. Introvert si pemimpin kharismatik. Introvert si seniman. Introvert si saintis. Introvert si sahabat baik. Introvert si pendengar. Introvert si teman bijaksana. Introvert si pencari makna. Introvert si penyelam ke dalam jiwa. Introvert si cerdas dalam intrapersonal. Introvert si hati-hati.
Ya, kita introvert, Nak. Kita bukan orang aneh. Kita berbicara, kita berdialog, tapi kita bukan si ceplas-ceplos. Kita bergaul, kita berteman, tapi beberapa saja yang benar-benar kita dekat dengannya. Tak ada yang salah dengan kita, Nak. Hanya saja, dunia masih belajar untuk memahami siapa kita dan bagaimana kita berperan dalam perjalanan waktu di dunia ini.
Menjadi introvert bukan berarti tidak lebih berhasil, Nak. Kau lihat orang-orang hebat di bidangnya: J.K. Rowling, Bill Gates, Abraham Lincoln, Albert Einstein, Stephen Spielberg, (dalam Cain, 2012), mereka sama seperti kita dan sepertiga penduduk Bumi lainnya, sama-sama introvert.
- Cain, Susan. 2012. Quiet : The Power of Introvert in a World That Can't Stop Talking. USA : Crown Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar